Tuesday, March 09, 2010

Contemplativus in Actione

Contemplativus in Actione

Kontemplatif dalam Aksi

Spiritualitas dan Lingkungan JSN 21

Kira, 3 Juni 2008

Jika saja Allah ditemukan dalam benda mati, tumbuhan dan binatang, maka mungkin cara pandang manusia terhadap semua unsur alam akan menjadi lain. Unsur-unsur alam akan menjadi bernilai atau berharga. Mereka memiliki nilai intrinsik: nilai pada dirinya sendiri. Karena bernilai dan berharga lalu mereka tidak akan diperlakukan secara sewenang-wenang.

Untuk bisa sampai pada kesadaran akan adanya nilai dan harga pada unsur-unsur alam, kita membutuhkan sikap kontemplatif dalam segala aksi kita. Dalam bahasa latinnya Contemplativus in Actione.

Apa itu Kontemplasi?

Kontemplasi adalah memandang jauh ke depan demi mendapatkan arah dan kemungkinan tindakan lain (antisipasi) yang lebih bermakna. Ketika akan melakukan suatu aksi, misalnya saja menyusuri sungai, atau mendaki gunung, dalam benak, kita sudah melakukan gladi resik perjalanan. Kita membayangkan kemungkinan pengalaman yang akan kita dapatkan ke depan. Membayangkan jalan-jalan yang akan dilalui, rintangan-rintangan yang mungkin menghalangi dan memikirkan antisipasinya apa.

Kontemplasi adalah juga suatu tindakan untuk memahami penuh suatu hal. Memahami tidak hanya sekedar tahu, tapi ada pendalaman dan pemaknaan akan sesuatu dibalik apa yang bisa terindera. Karena kontemplasi, benda mati tidak lagi hanya menjadi sekedar benda mati. Tumbuhan tidak lagi hanya sekedar calon kayu dan triplek. Binatang tidak lagi hanya sekedar daging belaka.

Kontemplasi adalah memandang sesuatu dengan cara ambil bagian dalam hidup, dalam adegan, terlibat langsung. Ketika kita menyusuri hutan belantara, dan mengalami angin berhembus, air mengalir, daun-daun berguguran, burung-burung berkicau dan terbang dari satu dahan ke dahan lain, para petualang mencoba ikut ambil bagian dalam adegan alami itu. Ikut serta dan terlibat dalam usaha-usaha masing-masing unsur alam menyeimbangkan alam. Ikut serta melayani dan mencipta. Ikut memahami bagaimana alam melakukan siklusnya, sehingga alam menjadi seimbang. Air mengalir ke tempat lebih rendah tanpa memaksakan dirinya. Daun menggugurkan dirinya agar daun lain tumbuh dan berkembang.

Akibatnya:
Bersikap kontemplatif itu seperti memakai kacamata hitam, yang karenanya lalu mata kita melihat kemanapun selalu lebih gelap. Bersikap kontemplatif berarti seperti memakai kacamata dengan program Allah. Karenanya kemanapun mata memandang, kita selalu melihat Allah ada dalam segala unsur. Menemukan Tuhan dalam Segala dan Segala dalam Allah.

Jika engkau ingin melihat Tuhan, pandanglah ciptaan dengan penuh perhatian, jangan menolaknya, jangan memikirkannya, pandanglah saja. (Anthony de Mello)

Kita lalu melihat dan memahami bagaimana Allah bekerja dalam segala unsur alam dan mencipta. Ia mencipta tunas baru. Ia hadir dalam hembusan angin. Ia nampak dalam burung yang terbang. Ia mengulurkan tangan-Nya dalam dahan-dahan pohon. Ia menahan langkah kaki kita dalam bentuk daun-daun kering di atas tanah licin dan berbatu. Kontemplasi dalam aksi seperti ikut menjalani dan melakukan apa yang alam lakukan atau pendaki buat dalam aksi mereka; ikut membayangkan jalan yang ditempuh, membaui bunga atau pepohonan serta tanah yang dilalui dan diinjak. Kita tenggelam, terpaku dan mampu dengan semua panca indera mengalami bagaimana Alam atau Allah sendiri bekerja. Allah jangan dibayangkan ada di tempat jauh di atas sana. Ia ada di sekeliling kita dalam segala unsur di alam. Ia hadir saat ini, dan bisa dirasakan secara nyata. Fantasi dan imajinasi kita bekerja secara leluasa. Tuhan yang hadir dan bekerja saat ini bisa dirasakan dan dialami membimbing manusia agar selaras dengan alam yang keberadaannya selalu untuk melayani dan melayani.

Bersikap kontemplatif dalam aksi membantu kita melihat seperti anak-anak. Melihat apa adanya. Selalu dibayangi oleh rasa kagum spontan dan takjub kepada makhluk hidup dan realitas. Selalu diajak untuk melihat tidak dengan nafsu eksploitasi. Tetapi memandang dengan kesadaran pemahaman penuh bahwa ada Allah di situ dan sedang bekerja dan mencipta.

Dalam segala aksi petualangan kita, aspek ketinggian atau aspek illahi kita menjadi lebih peka dan mudah tersentuh.

Karena bersikap kontemplatif manusia menembus batas-batas dirinya karena ia memandang jauh ke depan sebagai akibat aksi imaginasi secara aktif. Ia berusaha melihat paling jauh dan paling tinggi, maka ia terbang paling jauh dan terbang paling tinggi.

Kadang untuk menjadi kontemplatif dalam aksi petualangan kita, manusia perlu menutup mulut dan mendiamkan akal budinya. Ia berusaha memandang saja. Memberi perhatian penuh hanya pada Allah saja dalam unsur alam; dan semua itu digerakkan oleh cinta kepada alam dan keinginan untuk ikut serta dalam hukum alam yang adalah Melayani.

Kita juga bisa menjadi kontemplatif dalam aksi ketika
1. berjalan mendaki gunung dengan diam dan hening. Mengharapkan kekayaan dari keheningan. 2. Menyatu dan pasrah kepada alam ketika masuk ke dalam hutan-hutan liar. 3. Ketika melakukan perjalanan berat dengan menerima keadaan dan tidak mengeluh 4. Ketika menemui begitu banyak sampah dan kerusakan di alam dan kemudian menyesal karena telah menjadi salah satu masalah 5. Ketika menyusuri jalan menurun dari puncak sambil berterima kasih dan mengumpulkan sampah-sampah yang ada di sepanjang perjalanan (bukan sampah kita). 6. Atau ketika membaca cerita-cerita para tokoh aktifis lingkungan seperti Soe Hok Gie, Norman Edwin, Erin Brokovich, Simon Jackson, Edmund Hillary, Reinhold Messner, Buddha, Yesus, Laotse, dll.

Kontemplasi itu berarti memberi perhatian penuh pada sesuatu obyek. Sangat penting bagi manusia untuk memberikan kesempatan kepada dirinya untuk berhenti, dan mengkonsentrasikan diri kepada setiap obyek. Mengamatinya, tanpa memikirkannya, dan kemudian menemukan keindahan di dalamnya yang akan membawa manusia pada rasa syukur yang besar kepada realitas tertinggi. Tetapi, lebih penting lagi untuk mendisposisikan diri pada suatu kecenderungan diri untuk selalu memiliki kesadaran mendalam akan suatu obyek. Melihat dengan sungguh, merasa dengan sungguh. Lebih pada pemaksimalan daya indera dan rasa, bukan pada pemikiran. Karena pemikiran manusia sudah dipenuhi dengan hal-hal yang begitu banyak, bervariasi, penuh dengan ide-ide hasil dari konstruksi kenyataan sosial, konformitas, serta program-program (yang seringkali superficial) yang jika manusia hindari akan menimbulkan ketakutan-ketakutan yang akhirnya membawa manusia kembali sibuk berkutat dengan ‘kepalanya’.

Jika bukan karena kita memiliki pandangan mengenai bobot dan ukuran, kita akan mengagumi kunang-kunang seperti kita mengagumi matahari. (Khalil Gibran)

“… contemplation reaches out to the knowledge and even to the experience of the transcendent and inexpressible God. It knows God by seeming to touch Him.”

Para Petualang tidak akan pernah menjadi sama lagi setelah berkontemplasi. Melalui kontemplasi para petualang diharapkan membuat hidupnya menjadi lebih terarah kepada aksi penuh cinta yang ramah lingkungan dan menghidupkan.
Source : http://groups.yahoo.com/group/nature_trekker/message/40197

No comments: