Saturday, June 03, 2006

belum ada judul

kadang aku tertawa mengharap rasa yg terlupa,
semua warna dunia indah dan cerah..
meski tampak air di pucuk sudut mata tercurah keluar, tapi aku yakin ini harta yg kunanti.
mengapa aku tertawa itu hanyalah tak penting untuk dipikir.
yg tentu tawaanku bersama orang lain yg satu keinginan denganku.
keinginan untuk bertawa.
simetrisnya tubuh kita tak pernah kita amati
mengapa harus simetris?
tapi ketika kita bertanya mengapa Tuhan mecipta demikian. itu mungkin bukan urusanku. Itu maksud Tuhan.
Aku hanyalah ciptaan
Yg tak pandai sekali dalam bersyukur
dan sering menggunakan tubuh ini dengan menantang-Nya.
Aaaah..
Tubuh ini pernah singgah di Rumah Pesakitan.
hingga wajah ini tak pernah tak murung terpandang.

kini tawaan ku bersapa
giliran ciptaan lain yg terluka
tak sadar akupun menangis
tanya-tanya tentang tawa-tawa.
menanti kekasih yg tak kunjung berpandang

by Ankga 12 Maret 2005
Klo boleh kasih komentar ya!!

Aku Tak Peduli

Dua cucuku yang berumur sekitar 7 thaun dan 10 tahun itu sedang beristirahat di halte Thamrin. Mereka sepertinya lelah dengan pekerjaannya yang sehari penuh tadi. Mereka baru kukenal 2 bulan yang lalu. Sekarang rasanya aku makin akrab dengan mereka. Mobil-mobil mewah yang tiap hari kami lihat melintasi kami dengan sangat bangga, Aaaah begitu indahnya mobil itu. Tak usahlah aku membayangkan dinginnya dan sejuknya keadaan di dalam sana. Umurku sudah separuh baya, mataku sudah cukup nikmat membayangkan nikmat dunia. Mata dan pikiran yang selalu berinteraksi untuk menyenangkan hatiku. Wanita seperti diriku sebenarnya sudah tidak diperlukan lagi bagi bangsa ini, namun kedua bocah itu, Joko dan Budi, tampaknya mereka masih menginginkan aku hidup."Mbok, es mbok ?", Joko menawari aku dengan es lilinnya yang bagaikan es krim yang penuh dengan kandungan susu yang begitu lezat itu, lalu aku hanya menggelengkan kepalaku saja. "gak usah, makan sendiri aja!". Melihat mereka berdua bermanja padaku aku semakin semangat untuk terus hidup. Senja itu langit kota mulai mendung, awan tebal mulai membentuk atap rumahku. Sebentar lagi maghrib tiba. Lalu sesaat kemudian, beberapa tetes air dari langit yang begitu segar mulai menetesi wajahku. Ternyata hari ini aku harus mandi setelah lima hari yang lalu hujan deras di kota ini. Kedua bocah itu mulai berlarian bermain air yang turun dari langit. Aku sangat bersyukur mereka berdua masih bisa tertawa, Si Joko dan Si Budi. "Mbok, mandi Mbok!", mereka mengajakku menikmati mandi air di sore itu. Di dalam kelaparan anak-anak itu, dan juga perut yang masih kosong, kami bermain air bersama. Entah dari mana mata air hujan ini datang dari sebelah mananya langit, kami tak begitu mempedulikan. Kadang kalau kami ingin senang-senang, kami pergi ke taman kota, melihat hijaunya dunia, ditambah manusia-manusia yang berpakaian indah dan berwajah cerah bersama kerabatnya. Rumput-rumput yang rapi tinggi dan tebalnya, bunga-bunga melati putih yang harum wanginya. Ah tapi tetap saja ada hal yang mengusik kami, sorotan-sorotan tajam dari penjaga taman, pengunjung, bahkan anjing-anjing yang terus menerawang kami dengan aneh seakan-akan kami ini orang aneh yang gila, kumuh, kotor, dan hina. Ku sedikit mencoba membuat tegar hati ini, aku tak peduli dengan apa yang mereka pikir, akupun tak pernah meminta mereka untuk mempedulikan aku dan kami. Meski begitu, akupun tak mampu bertahan berlama-lama di tempat seperti itu, barangkali saja aku bisa mengusik wisata mereka, lebih baik cepat pergi saja.
Hujan mulai tampak reda, sayup-sayup di sebuah ujung langit terdengar suara kumandang adzan maghrib untuk hari ini. Aku mulai menengadahkan tanganku ke langit seperti hari-hari biasanya. Meminta ampun atas perbuatanku yang aku perbuat di hari ini. Kemudian atap rumahku perlahan mulai hitam dengan dihiasi ribuan bintang yang indah. Kuajak kedua cucuku itu ke tempat yang sepi, walaupun agak kotor sedikit. Lalu kubaringkan mereka di atas tumpukan permadani yang terbuat dari karton-karton bekas, lalu kupejamkan perlahan mata ini, menutup lembaran di hari ini.

Bila aku mati

Bila aku mati, apa yang akan aku beri dan tinggalkan untuk dunia ini apakah hanya kerusakan dan kehancuran? Sungguh aku tidak ingin demikian. wahai kerabat-kerabatku, ayah, ibu, adik-adikku, teman-temanku, mulai dari sd sampai sekarang. kalian telah mengukir sebuah lukisan dengan warna-warna yang beragam, hitam, putih, merah, hijau, tangisan, senyuman, marah, ah semuanya begitu terkenang malam ini. masa lalu di smp bersama beberapa temen dengan gerombolan yang khas dengan urak-urakan dan slenge'an. anak-anak nakal di smp dengan prestasi pas-pasan. aku selalu ingin kembali bersama
kalian lagi, meskipun persahabatan yang kita bina sedikit tercoreng dengan cintaku diantara kalian, ya yang dulu aku namakan itu cinta, dan sekarang malah hanya perasaan saja. untung saja kau tolak aku untuk menjalin hal itu. pasti bakal malah hancur dunia ini jika keadaan itu terwujudkan. organisasi-organisasi smp yang mulai agak membuat aku sombong, prestasi ekskul yang dengan bangganya aku ikuti dengan berbagai macamnya, voli, pramuka, basket, bahkan aku di luar sekolah pun tiap hari maen bola di kampung. lalu aku mengingat yang namanya kebrutalan yang telah terjadi saat itu, betapa nakalnya aku yang menggoda temen-temen perempuan, dan parahnya lagi aku tidak sendirian, yah bisa dibilang bersama temen-temenku aku itu sangat brutal dalam hal menggoda perempuan di kelas, yang walaupun kelihatannya bagi mereka itu, maksudku perempuan-perempuan itu hanyalah sebuah gurauan juga, namun aku tetap merasa bersalah dengan segala macam kelakuanku yang tidak baik itu. dengan statusku di dewan pramuka, di osis sekolah, di kegiatan olahragaku, di segerombolan kawanan yang suka membangkang, hah bener-bener itu saat yang penuh dengan kebersamaan, meskipun di saat itu aku pun belum merasa ada di dalam kawanan anak itu dalam arti sebenarnya. di keluargaku, aku kadang bahkan sering pula aku membantah segala macam nasehat orang tuaku, dengan berkilah ini dan itu, bahkan dengan sangat keras aku bilang bahwa ini dan itu adalah tidak dan iya, aku menyesal melakukan itu semua,
sungguh aku menyesal. entah dengan cara yang bagaimana orang tuaku berkorban dengan segala macam harta dan jiwa raganya untuk membesarkanku hingga saat ini, aku tak pernah bisa membayangkan itu semua. kakek nenekku dari ibu, kakek nenekku dari bapak, kalian semua begitu sayang pada diriku. aku merasa kalian selalu menganggapku adalah orang yang sukses di kemudian hari dan dapat mengharumkan nama keluarga ini. ya memang aku pun juga menginginkan hal demikian. ada juga status yang mengatakan bahwa keluarga kami adalah keturunan seorang sunan drajat yang begitu tersohor itu. namun itu pun hanyalah sebuah keturunan, tak ada jaminan bahwa aku akan menjadi pula seorang yang tersohor dan dipandang oleh bangsa ini. bangsa yang sangat aku banggakan ini, sungguh aku pun ingin mencintaimu lebih dalam lagi. oya sampai lupa aku dengan kawanan sd-sd ku yang begitu penuh dengan permainan. rasa jengkel karena kalah ejek dengan lawan tanding maen kelereng, kalah ejek karena tidak memiliki barang mainan seperti temenku, ha ha ha, ingin tertawa rasanya kalau mengingat hal-hal itu, hal yang sekarang aku pikir saat ini hal yang demikian itu seharusnya
tidak perlu aku lakukan. mengingat guru-guruku yang begitu setia dengan anak-anak didiknya, yang sampai kami mendengar sebuah persaingan antara beberapa guru kami. ah sudah lupakan sajalah hal yang buruk itu, aku tidak ingin membicarakan lebih dalam lagi. yang aku ingat adalah ketika belajar di bu kis, sering kami diajak berkeliling dengan mobilnya beserta keluarganya, beli pisang molen, mmm, aku dibawakan sebuah bungkusan ketika pulang, ah terima kasih ibu, lalu di rumah ibu guru yang lain, di bawah hujan, aku tampak overacting lalu ditegur oleh beliau, ah jadi malu aku bu,
padahal di sana ada begitu banyak teman. di belakang rumah andrian dan adit kami bermain di sebuah pohon, keres kalau nama jawanya, aku gak tau nama indonesianya. betapa menyenangkannya. saat ini aku sangat rindu sekali dengan kalian, di bandung ini, rasanya memang ingin sekali mengulang kebersamaan yang pernah ada dulu, aku rindu dengan orang tuaku, adik-adikku, kerabat-kerabatku di kampung, aku disini sering sekali membenci sesuatu, mereka tidak mengerti apa yang aku inginkan, atau aku yang sok tau apa yang seharusnya terjadi pada suatu hal. sehingga aku merasa kurang cocok dengan keadaan ini, aku pun merasa bahwa aku semakin dewasa, sehingga bila aku menemukan sesuatu yang salah aku pun langsung memvonisnya bahwa itu salah. (bersambung entah kapan .....)