Saturday, June 03, 2006

Aku Tak Peduli

Dua cucuku yang berumur sekitar 7 thaun dan 10 tahun itu sedang beristirahat di halte Thamrin. Mereka sepertinya lelah dengan pekerjaannya yang sehari penuh tadi. Mereka baru kukenal 2 bulan yang lalu. Sekarang rasanya aku makin akrab dengan mereka. Mobil-mobil mewah yang tiap hari kami lihat melintasi kami dengan sangat bangga, Aaaah begitu indahnya mobil itu. Tak usahlah aku membayangkan dinginnya dan sejuknya keadaan di dalam sana. Umurku sudah separuh baya, mataku sudah cukup nikmat membayangkan nikmat dunia. Mata dan pikiran yang selalu berinteraksi untuk menyenangkan hatiku. Wanita seperti diriku sebenarnya sudah tidak diperlukan lagi bagi bangsa ini, namun kedua bocah itu, Joko dan Budi, tampaknya mereka masih menginginkan aku hidup."Mbok, es mbok ?", Joko menawari aku dengan es lilinnya yang bagaikan es krim yang penuh dengan kandungan susu yang begitu lezat itu, lalu aku hanya menggelengkan kepalaku saja. "gak usah, makan sendiri aja!". Melihat mereka berdua bermanja padaku aku semakin semangat untuk terus hidup. Senja itu langit kota mulai mendung, awan tebal mulai membentuk atap rumahku. Sebentar lagi maghrib tiba. Lalu sesaat kemudian, beberapa tetes air dari langit yang begitu segar mulai menetesi wajahku. Ternyata hari ini aku harus mandi setelah lima hari yang lalu hujan deras di kota ini. Kedua bocah itu mulai berlarian bermain air yang turun dari langit. Aku sangat bersyukur mereka berdua masih bisa tertawa, Si Joko dan Si Budi. "Mbok, mandi Mbok!", mereka mengajakku menikmati mandi air di sore itu. Di dalam kelaparan anak-anak itu, dan juga perut yang masih kosong, kami bermain air bersama. Entah dari mana mata air hujan ini datang dari sebelah mananya langit, kami tak begitu mempedulikan. Kadang kalau kami ingin senang-senang, kami pergi ke taman kota, melihat hijaunya dunia, ditambah manusia-manusia yang berpakaian indah dan berwajah cerah bersama kerabatnya. Rumput-rumput yang rapi tinggi dan tebalnya, bunga-bunga melati putih yang harum wanginya. Ah tapi tetap saja ada hal yang mengusik kami, sorotan-sorotan tajam dari penjaga taman, pengunjung, bahkan anjing-anjing yang terus menerawang kami dengan aneh seakan-akan kami ini orang aneh yang gila, kumuh, kotor, dan hina. Ku sedikit mencoba membuat tegar hati ini, aku tak peduli dengan apa yang mereka pikir, akupun tak pernah meminta mereka untuk mempedulikan aku dan kami. Meski begitu, akupun tak mampu bertahan berlama-lama di tempat seperti itu, barangkali saja aku bisa mengusik wisata mereka, lebih baik cepat pergi saja.
Hujan mulai tampak reda, sayup-sayup di sebuah ujung langit terdengar suara kumandang adzan maghrib untuk hari ini. Aku mulai menengadahkan tanganku ke langit seperti hari-hari biasanya. Meminta ampun atas perbuatanku yang aku perbuat di hari ini. Kemudian atap rumahku perlahan mulai hitam dengan dihiasi ribuan bintang yang indah. Kuajak kedua cucuku itu ke tempat yang sepi, walaupun agak kotor sedikit. Lalu kubaringkan mereka di atas tumpukan permadani yang terbuat dari karton-karton bekas, lalu kupejamkan perlahan mata ini, menutup lembaran di hari ini.

1 comment:

Anonymous said...

kak angga u bnr2 luar biasa.aq benar2 kagum sma kakak atas semua yg kakak tuangkan di sini.crita ni bukan ini bukanlah cerita melainkan ada di dunia nyata.aq jadi lebih mengerti akan hidup ini.iy_qa